Pulpen yang Mengalir Terus: Semangat Menulis

Jeffrie Gerry
0

 


Pulpen yang Mengalir Terus: Semangat Menulis

Di sebuah sudut ruangan sempit berukuran 3x4 meter, terdengar suara gesekan halus antara ujung pulpen dan kertas. Bunyi yang nyaris tak terdengar itu, bagi sebagian orang mungkin remeh. Tapi bagi Darma, pria lima puluh satu tahun yang baru saja kehilangan pekerjaan karena stroke, suara itu adalah denyut hidup. Ia menyebutnya: detak semangat yang tak boleh padam.

“Kenapa kau masih menulis, Dar?” tanya Icha, keponakannya, suatu pagi ketika melihat sang paman masih memegang pulpen dengan tangan yang agak bergetar.

Darma tersenyum. “Karena pulpen ini mengerti aku lebih dari siapa pun. Ia tak pernah minta aku sehat total, cukup jujur total.”

Icha mengernyit. “Tapi nulis manual itu kuno, Om. Sekarang orang pakai HP, laptop, AI. Pulpen udah lewat zamannya.”

Darma menatap pena Pilot V5 hitamnya, benda yang setia menari sejak zaman kuliah. “Justru karena semua serba cepat dan digital, tulisan tangan jadi saksi ketulusan. Pulpen ini... ia mengalir, bukan hanya tinta—tapi juga luka, harapan, dan keberanian.”


Awal Mula: Sebuah Tinta di Tengah Gulita

Dulu, Darma bukan penulis. Ia adalah manajer HRD di sebuah perusahaan tekstil yang ramai omzet, tapi sepi empati. Ketika stroke menghantamnya pada 8 Mei 2025, semuanya seperti mati lampu. Ia kehilangan pekerjaan, gaji, dan bahkan gengsi.

Namun, di tengah kabut gelap itu, ada satu benda yang tak pernah pergi: pulpennya.

“Waktu aku tak bisa bicara, tulisan jadi suaraku,” kenang Darma sambil menghela napas.

Dari meja kayu yang usang, ia mulai menulis. Tentang rasa takut. Tentang dikhianati perusahaan yang dulu dibangunnya. Tentang semangat istri yang tak menyerah. Dan perlahan, tulisan itu tak hanya jadi terapi, tapi juga suluh—menerangi hatinya sendiri.


Pulpen sebagai Terapi Emosi dan Spiritual

Menulis dengan tangan bukan sekadar menuangkan kata. Ada keterlibatan jiwa. Saat tangan bergerak, pikiran dipaksa menyusun ulang kenangan, luka, bahkan harapan yang lama tersimpan. Itu sebabnya Darma selalu membawa pulpen dan buku catatan kecil di dekat tempat tidurnya.

“Kau tahu, Icha,” katanya sambil menyeruput teh hangat, “menulis itu seperti mengeluarkan nanah. Sakit, tapi setelah itu luka bisa sembuh.”

Icha diam. Ia merekam kata-kata pamannya di HP-nya, entah untuk diunggah ke TikTok atau sekadar jadi kenangan. Tapi ada satu hal yang ia pelajari hari itu: tak semua terapi butuh obat. Kadang cukup selembar kertas dan satu batang pulpen.


Menulis Sebagai Bukti Keberadaan

Ada masa ketika Darma merasa dunia tak butuh dirinya. Ketika teman-teman mulai menjauh, dan keluarga besar tak tahu harus bicara apa. Tapi saat ia mulai menulis, tiba-tiba hidupnya punya arah baru.

Tulisan tangannya menjadi puisi, cerita pendek, catatan harian, hingga satir sosial yang ia unggah di blog. Beberapa tulisan viral, banyak yang biasa saja. Tapi yang terpenting, ia merasa hidup kembali.

“Selama pulpen ini mengalir, aku tahu aku masih di sini,” ucap Darma di hadapan sekelompok pemuda yang datang mewawancarainya untuk lomba literasi.

“Apakah semua tulisan harus dibaca banyak orang, Pak?” tanya salah satu dari mereka.

“Tidak. Tapi semua tulisan harus jujur. Karena di situlah nilainya.”


Pulpen: Simbol Semangat Tak Kenal Usia

Bagi Darma, pulpen bukan sekadar alat. Ia adalah simbol. Ia adalah kaki ketika tak bisa berjalan. Ia adalah suara ketika lidah tak mampu bicara. Ia adalah harapan ketika semua pintu ditutup.

“Dulu, aku menulis untuk dunia. Sekarang, aku menulis untuk hidup,” katanya pada diri sendiri, suatu malam ketika hujan mengetuk atap seng.

Ia tak peduli tulisannya jelek, atau tangannya bergetar. Ia hanya peduli satu hal: jangan berhenti mengalir.


Pelajaran yang Tak Ditulis di Sekolah

Banyak hal yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah: cara bangkit setelah jatuh, cara bertahan setelah dikhianati, cara mencintai hidup meski tak sempurna. Tapi Darma menemukan pelajaran itu dari satu hal: menulis.

Ia menulis tentang stroke tanpa malu. Tentang perasaan kehilangan, tentang bangkit perlahan, tentang cinta istrinya yang memandikannya tanpa keluh. Dan dari situ, ia mulai menerima undangan berbicara di komunitas stroke survivor, di kelas-kelas motivasi, bahkan di podcast anak muda.

Ia bukan seleb. Bukan motivator terkenal. Tapi ia adalah bukti hidup bahwa satu pulpen bisa mengubah dunia kecil seseorang—dan mungkin, orang lain juga.


Dialog Inspiratif di Warung Kopi

Suatu hari, Darma bertemu seorang pemuda di warung kopi. Anak itu membawa laptop dan terlihat frustrasi.

“Buntu nulis?” tanya Darma, sambil menyodorkan pulpennya.

“Banget. Semua ide kayak nyangkut.”

“Coba tulis pakai tangan dulu. Kadang, tangan lebih jujur dari keyboard.”

Pemuda itu tertawa. “Serius, Pak?”

“Serius. Tangan kita punya memori. Saat ia menulis, kita terhubung dengan hal-hal yang tak bisa diketik.”

Pemuda itu mencoba. Dua jam kemudian, ia menangis. Ternyata selama ini, ia menahan rindu pada ayahnya yang sudah tiada. Dan tulisan tangan itu membuka pintu emosi yang lama terkunci.


Menulis untuk Masa Depan

Darma kini punya satu mimpi sederhana: menerbitkan buku berjudul “Pulpen yang Mengalir Terus”, kumpulan catatan pasca stroke yang ditulis tangan. Bukan untuk jadi bestseller. Tapi agar anak-anak, cucu, dan siapa pun tahu, bahwa dalam dunia yang nyaris putus asa, tinta bisa jadi pelita.

Ia percaya, setiap orang punya kisah. Tapi tak semua berani menuliskannya. Maka ia ingin menjadi pengingat: bahwa kisah tak akan abadi jika hanya disimpan di kepala.


Hal Positif dari Menulis dengan Pulpen

  1. Terapi mental alami: Menulis tangan membantu menyembuhkan luka emosional dan menenangkan pikiran.

  2. Membangun koneksi dengan diri sendiri: Tulisan tangan memaksa kita jujur, karena tidak bisa dihapus seenaknya.

  3. Meningkatkan ingatan dan fokus: Proses menulis secara manual melatih otak untuk bekerja lebih dalam.

  4. Simbol keberanian: Di saat dunia menilai berdasarkan kecepatan, pulpen mengajarkan ketekunan dan ketulusan.

  5. Menginspirasi orang lain: Kisah pribadi yang ditulis dengan jujur bisa jadi obor bagi orang lain yang sedang tersesat.


Penutup: Pesan dari Selembar Kertas

Hari ini, Darma duduk di bangkunya sambil menatap hujan. Di tangannya, sebuah pulpen tua masih menari. Ia tahu tak semua orang akan membaca tulisannya. Tapi ia juga tahu, tak semua keberanian harus diumumkan.

Karena terkadang, keberanian terbesar adalah menulis satu kata… ketika dunia menyuruhmu diam.

Dan ketika ditanya, “Apa arti menulis bagimu, Pak?”

Darma hanya tersenyum, “Menulis itu bukan soal bisa atau tidak. Tapi soal mau atau tidak. Karena hidup ini... bukan untuk ditahan, tapi untuk dituliskan.”


Semangat menulis tak mengenal usia, tak tunduk pada tren, dan tak perlu alasan rumit. Kadang, cukup satu pulpen, satu luka, dan satu harapan. Maka biarkanlah pulpenmu terus mengalir. Karena setiap tinta adalah langkah menuju penyembuhan dan keabadian.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)