Pisau yang Selalu Diasah: Pentingnya Belajar Terus
“Belajar itu seperti mengasah pisau, Nak. Kalau kau berhenti, tumpul dia. Dan pisau tumpul tak bisa dipakai apa-apa, bahkan untuk membelah pisang pun gagal.”
Kalimat itu terlontar dari mulut Kakek Sastro, lelaki renta yang sudah tak lagi bekerja, tapi ilmunya tetap tajam. Tangannya gemetar, tubuhnya condong ke kiri, tapi pikirannya masih sekeras baja. Aku selalu duduk di serambi rumahnya setiap sore, mendengar cerita-cerita yang konon katanya "lebih tajam dari berita pagi".
“Aku ini bukan sarjana, bukan pula insinyur,” katanya, “tapi aku tak pernah berhenti belajar. Bahkan hari ini pun aku belajar—belajar menerima usia tua.”
Belajar Tak Mengenal Waktu
Di dunia yang berubah dalam kedipan mata, belajar bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan. Seperti pisau dapur di rumah, yang setiap hari memotong berbagai bahan: daging keras, kulit ayam, bahkan tulang. Tapi pisau itu hanya berguna kalau diasah. Sekali ia dibiarkan, ia jadi beban.
Begitu pula otak manusia.
Di era digital, informasi seperti hujan deras. Mereka yang tak punya payung pengetahuan akan kebasahan, bahkan tenggelam. Dan satu-satunya cara membuat payung itu kokoh adalah belajar. Terus. Tanpa henti.
“Dulu orang tua bilang, belajar sampai ke negeri Cina,” kata Pak Wibowo, seorang pedagang kaki lima yang suka membaca buku filsafat di sela jualannya. “Sekarang? Tak perlu ke Cina. Belajarlah dari setiap masalah yang datang.”
Dialog Antara Dua Generasi
Raka (25 tahun, fresh graduate):
“Pak, saya merasa kuliah saya sia-sia. Nilai bagus, tapi kerja nggak dapat-dapat juga.”
Pak Wibowo (56 tahun, pedagang buku bekas):
“Nak, kuliahmu itu baru bikin pisaumu tajam. Tapi hidup ini seperti memasak, bukan sekadar mengasah. Kau harus belajar cara menggunakan pisaumu dengan bijak.”
Raka:
“Jadi, saya harus belajar lagi, Pak?”
Pak Wibowo:
“Belajar itu bukan hanya untuk lulus ujian. Itu untuk hidup. Belajar bukan berhenti saat wisuda, justru itu awalnya.”
Belajar Adalah Nafas Panjang
Apa jadinya jika pilot berhenti belajar teknologi navigasi terbaru?
Apa jadinya bila dokter berhenti belajar soal virus baru?
Apa jadinya bila kita berhenti belajar memahami diri sendiri?
Hidup adalah perjalanan tak pernah usai. Jalanannya tak selalu rata. Belajar bukan untuk menunjukkan siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling tahan banting.
Ibu Rini, seorang ibu rumah tangga, bercerita:
“Aku dulu hanya tahu masak dan bersih-bersih. Tapi ketika pandemi datang dan suami kehilangan pekerjaan, aku belajar jualan online. Nggak ada yang ngajarin, tapi aku belajar dari YouTube, dari tetangga, dari coba-coba. Sekarang, aku bisa bantu keuangan rumah tangga.”
Belajar bukan selalu soal sekolah atau ijazah. Kadang, belajar adalah tentang bertahan hidup.
Belajar Membuka Peluang
Di desa Sukamakmur, ada seorang pemuda bernama Dafa. Ia tak punya banyak uang untuk kuliah. Tapi ia rajin membaca, menonton tutorial, dan bertanya pada siapa saja. Ia belajar desain grafis lewat gawai tua. Sekarang, ia jadi freelancer yang pelanggannya dari luar negeri.
“Kalau aku berhenti belajar waktu itu karena minder, mungkin aku sudah jadi pengangguran selamanya,” kata Dafa.
Peluang tak datang bagi mereka yang diam. Ia datang pada mereka yang siap—yang pisau hidupnya selalu diasah.
Dialog Diri Sendiri: Monolog Pagi
Aku (dalam hati):
Hari ini mau belajar apa ya?
Mungkin bukan soal rumus matematika.
Mungkin belajar sabar saat macet.
Atau belajar mengalah meski benar.
Atau belajar tertawa meski masalah belum selesai.
Belajar itu fleksibel. Ia tak selalu berupa buku, tapi bisa berupa luka.
Tak selalu di kelas, kadang di jalan raya.
Tak selalu dari guru, bisa juga dari tukang parkir.
Masyarakat yang Belajar, Masyarakat yang Maju
Bangsa yang berhenti belajar, akan kalah bersaing. Ketika anak-anak muda di negara lain belajar tiga bahasa, menguasai teknologi, dan berpikir kritis, kita tak boleh sibuk bertengkar soal recehan.
Belajar harus jadi budaya. Bukan paksaan, tapi kebutuhan. Seperti makan. Seperti bernafas.
Di kantor, belajar itu adaptasi.
Di rumah, belajar itu empati.
Di dunia maya, belajar itu literasi.
Bukan hanya anak-anak yang harus belajar. Orang tua pun jangan merasa cukup. Karena dunia tak pernah berhenti berubah.
Kisah Pisau Tumpul yang Ingin Tajam Lagi
Ada kisah tentang Pak Surya, mantan manajer yang pensiun dan merasa hidupnya berakhir. Ia dulu dihormati, kini dilupakan. Tapi suatu hari, ia memutuskan untuk belajar merajut.
“Aku dulu tak tahu bedanya benang katun dan wol,” ujarnya sambil tertawa.
“Tapi sekarang, aku buka kelas merajut untuk para lansia. Belajar itu ternyata bikin hidupku menyala lagi.”
Kisah Pak Surya mengajarkan bahwa belajar bukan cuma soal otak, tapi soal hati. Pisau lama bisa diasah lagi, asal ada niat.
Pesan dari Seorang Tua yang Masih Membaca
Kembali ke Kakek Sastro. Suatu hari, ia memintaku mengambilkan buku tebal dari rak tinggi.
“Kau tahu kenapa aku masih membaca buku ini?” tanyanya.
Aku geleng kepala.
“Karena aku ingin saat aku mati nanti, aku mati dengan pikiran yang tak pernah kering. Biarlah tubuhku rapuh, asal pikiranku tetap tajam.”
Ia tersenyum, lalu menambahkan:
“Kau jangan cuma belajar demi ijazah. Belajarlah agar saat kau tua, kau tak menjadi beban. Belajarlah agar kau bisa mengajari, bukan hanya diajari.”
Hal-Hal Positif dari Belajar Terus:
-
Meningkatkan Kepercayaan Diri:
Orang yang terus belajar akan merasa percaya diri dalam menghadapi tantangan baru. -
Meningkatkan Peluang Karir:
Dunia kerja berubah cepat. Mereka yang belajar cepat, naik lebih cepat. -
Melatih Otak Tetap Aktif:
Seperti olahraga bagi tubuh, belajar adalah latihan bagi otak. -
Menjaga Relevansi:
Dengan belajar, kita tak ketinggalan zaman. Tetap relevan, bahkan di usia tua. -
Menginspirasi Orang Lain:
Orang yang terus belajar adalah contoh nyata. Anak-anak meniru, teman-teman termotivasi.
Penutup: Belajar, Bukan Karena Terpaksa
Belajar itu bukan hukuman. Ia adalah hadiah bagi yang mau menerima. Ia adalah cara untuk menjadi manusia yang terus bertumbuh, bahkan ketika dunia mencoba membuat kita layu.
Jangan tunggu sampai pisaumu benar-benar tumpul.
Asahlah ia setiap hari.
Bukan agar tajam untuk menyakiti,
tapi agar berguna untuk hidup yang lebih berarti.
Dan jika suatu hari kau merasa lelah,
ingat kata-kata Kakek Sastro:
“Belajar itu bukan lomba lari cepat, tapi jalan panjang. Jalan yang tak ada garis finish-nya. Tapi justru karena itu, ia penuh kejutan.”
Selamat belajar, hari ini dan seterusnya.